Gelombang masalah tak henti-hentinya menerjang kita. Kali ini kita tak boleh lengah karena yang sedang kita alami bukan lagi sekadar masalah keseharian biasa, yang sudah barang tentu akan selalu menyertai perjalanan hidup, melainkan sangat boleh jadi kita sedang di gerbang suatu pusaran yang sewaktu-waktu bisa menenggelamkan. Mau tak mau, kita harus menyingkir darinya agar bisa mengayuhkan kembali dayung sehingga sampan sampai ke tujuan dengan selamat.
Betapa tidak. Kita semakin dihadapkan pada serangkaian kenyataan pahit yang sangat ironis. Contoh pertama masih di seputar krisis bahan bakar minyak.
Tak terbilang jumlah negara yang terkena imbas negatif dari meroketnya harga minyak. Negara yang mengimpor seluruh kebutuhan energinya niscaya menghadapi tekanan lebih berat.
Sejatinya, Indonesia tergolong kelompok segelintir negara yang beruntung karena sampai kini masih berstatus pengekspor neto minyak dan gas alam. Mengapa kita sangat tergopoh-gopoh menghadapi lonjakan harga minyak belakangan ini?
Sejatinya, Indonesia tergolong kelompok segelintir negara yang beruntung karena sampai kini masih berstatus pengekspor neto minyak dan gas alam. Mengapa kita sangat tergopoh-gopoh menghadapi lonjakan harga minyak belakangan ini?
Bukankah kenaikan harga minyak dunia juga memberikan dampak positif dalam bentuk kenaikan penerimaan pada APBN? Mengapa yang dikedepankan melulu dampak negatifnya dalam bentuk jumlah subsidi yang membengkak pada sisi pengeluaran APBN?
Pasti ada yang salah dengan kebijakan energi, manajemen pengelolaan migas, penetapan harga dan subsidi BBM, manajemen stok BBM, dan sistem anggaran negara. Jika kita membiarkan pemerintah tak menyentuh ke akar persoalan, maka masalah akan merembet ke mana-mana: kelistrikan, transportasi, pengadaan pupuk, dan dana kompensasi untuk rakyat miskin. Kestabilan makro-ekonomi juga terancam. Bahkan tragedi busung lapar, rawan gizi, dan polio sekalipun tak terlepas dari mismanajemen (ketakbecusan) pemerintah dalam menangani persoalan BBM ini.
Alih-alih berkaca pada kelemahan pemerintah sendiri, para petinggi negara justru berlomba adu cepat mengumbar sebab- musabab beserta jalan keluarnya. Presiden mengatakan, sumber masalah adalah karena Indonesia tergolong sebagai bangsa yang boros menggunakan energi. Solusi yang akan segera ditempuh ialah mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajaran pemerintah agar melakukan penghematan yang signifikan dalam pemakaian BBM (Kompas, 7 Juli 2005). Sementara itu, Wakil Presiden mengajukan cara berhemat dengan tidak memakai jas. Penyelesaian ad hoc lainnya, menaikkan harga BBM untuk kegiatan industri sektor tertentu.
Kalau begini caranya pemerintah mengatasi masalah, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan penyelesaian tuntas?
Lontaran-lontaran yang ”asal bunyi” membuat masyarakat semakin apatis dan tak menggubris langkah-langkah yang akan ditempuh pemerintah. Akibat lebih fatal, terjadi krisis kredibilitas sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah akan mandul.
Ironi kedua ialah kemerosotan nilai tukar rupiah. Minggu lalu rupiah menyentuh nilai terendah dalam tiga tahun terakhir, yakni Rp 9.860 per dollar AS. Boleh jadi nilai tukar rupiah telah menembus Rp 10.000 per dollar AS seandainya Bank Indonesia (BI) tak membanjiri pasar valuta dengan dollar AS. Entah berapa miliar dollar AS yang telah digelontorkan untuk menahan kemerosotan rupiah.
Pengumuman BI yang terakhir tentang posisi cadangan devisa adalah untuk akhir minggu ketiga Juni. Keterlambatan BI mengumumkan posisi cadangan devisa terkini mungkin bertujuan untuk tidak menimbulkan panik di pasar valuta asing. Namun, kebijakan itu bisa mengakibatkan hal yang sebaliknya karena menyuburkan rumor.
Kita yakin bahwa di tengah alam keterbukaan, yang terbaik adalah memberikan informasi yang sebenarnya dan secepatnya. Yang pahit sekalipun harus disampaikan, dengan syarat, BI dan pemerintah menunjukkan kesigapannya mengantisipasi segala kemungkinan terburuk.
Sejauh ini BI dan pemerintah telah mengumumkan empat langkah tambahan untuk menstabilkan rupiah. Namun, langkah itu diyakini masih jauh untuk bisa menohok ke akar soal.
Salah satu gejala yang harus dicermati ialah pola pergerakan rupiah dan indeks saham di Bursa Efek Jakarta. Dengan mencermati pergerakan indeks dan rupiah dari menit ke menit menunjukkan adanya kecenderungan kuat unsur spekulasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa kelebihan likuiditas serta suku bunga antarbank yang mulai sering melonjak, bisa disimpulkan bahwa ruang gerak masih sangat leluasa bagi transaksi-transaksi di pasar uang dan pasar modal. Spekulan paham betul bahwa BI dan pemerintah sedang dalam posisi terjepit dan cenderung kalut. Keadaan ini mereka manfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Salah satu gejala yang harus dicermati ialah pola pergerakan rupiah dan indeks saham di Bursa Efek Jakarta. Dengan mencermati pergerakan indeks dan rupiah dari menit ke menit menunjukkan adanya kecenderungan kuat unsur spekulasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa kelebihan likuiditas serta suku bunga antarbank yang mulai sering melonjak, bisa disimpulkan bahwa ruang gerak masih sangat leluasa bagi transaksi-transaksi di pasar uang dan pasar modal. Spekulan paham betul bahwa BI dan pemerintah sedang dalam posisi terjepit dan cenderung kalut. Keadaan ini mereka manfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Mendikte BI
Sejauh ini bisa dikatakan bahwa para spekulan telah berhasil mendikte BI dan pemerintah dengan ”memaksa” kenaikan suku bunga lebih cepat, melakukan intervensi di pasar valuta asing, dan memberikan suku bunga lebih tinggi bagi Surat Utang Negara maupun obligasi negara dalam valuta asing (global bonds).
Ironi ketiga, di tengah tekanan membengkaknya defisit APBN akibat membengkaknya subsidi BBM dan kenaikan suku bunga, justru pemerintah memperkeruh masalah dengan rencana menyuntikkan sekitar setengah triliun rupiah untuk membantu penyehatan maskapai penerbangan Merpati. Kita semakin tak paham, nasionalisme macam apa yang hendak dikedepankan dengan cara ini.
Cara paling jitu untuk memenuhi misi penerbangan perintis lewat public service obligation adalah menyehatkan industri penerbangan nasional dengan menegakkan prinsip-prinsip persaingan sehat. Kalau ada maskapai penerbangan swasta yang mampu menerbangi rute- rute kering dengan lebih sering dan biaya lebih murah lewat tender terbuka, niscaya akan lebih banyak penumpang yang terangkut dan lebih banyak daerah terisolasi akan terbantu.
Ketiga ironi di atas baru merupakan sepenggal potret dari kenyataan kian semrawutnya pengelolaan negara. Cara-cara yang ditempuh pemerintah sejauh ini membuat seolah-olah alternatif yang tersedia untuk memecahkan masalah sangat terbatas. Pilihan yang masih tersedia terkesan menakutkan.
Ketiga ironi di atas baru merupakan sepenggal potret dari kenyataan kian semrawutnya pengelolaan negara. Cara-cara yang ditempuh pemerintah sejauh ini membuat seolah-olah alternatif yang tersedia untuk memecahkan masalah sangat terbatas. Pilihan yang masih tersedia terkesan menakutkan.
Padahal, pemerintah sendirilah yang membuat pilihan sangat terbatas. Pilihan yang seharusnya ditempuh justru dikesampingkan. Bukankah dengan membenahi aparat pajak serta Bea dan Cukai saja bisa menggenjot penerimaan negara secara signifikan. Langkah ini bisa dilakukan sekarang juga tanpa harus menunggu reformasi menyeluruh di bidang perpajakan dan bea dan cukai. Inilah cara paling efektif untuk membuat defisit APBN tak menggelembung dan memberikan ruang gerak lebih leluasa bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan struktural yang tak kunjung tertangani.
Kita berharap pemerintah memulai langkah baru dengan membenahi mekanisme pengelolaan negara, mengubah cara pendekatan dengan mindset baru, menyatukan langkah dengan arahan yang jelas, serta mengenyahkan pejabat-pejabat yang tak kredibel dan telah terbukti menjadi penghambat untuk bergerak maju.
0 komentar
Posting Komentar